Surat bermaterai yang harus ditandatangani orang tua mahasiswa menyatakan bahwa UNG tidak bertanggung jawab atas insiden selama KKN. Bertentangan dengan aturan nasional, mahasiswa dipaksa menanggung risiko tanpa perlindungan institusi.
GERAKAN.CO, Gorontalo – Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kembali menjadi sorotan setelah beredarnya surat pernyataan bermaterai yang mewajibkan orang tua atau wali mahasiswa menandatangani dokumen pembebasan tanggung jawab hukum kampus atas segala risiko yang terjadi selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Surat tersebut menyatakan bahwa segala bentuk kejadian, insiden, atau risiko yang terjadi selama kegiatan KKN berlangsung adalah sepenuhnya tanggung jawab pribadi mahasiswa dan orang tuanya. UNG secara eksplisit melepaskan diri dari tanggung jawab hukum, gugatan, maupun permintaan ganti rugi jika terjadi kecelakaan, kerugian materiil, atau bahkan kasus pidana selama kegiatan berlangsung.

Berikut bunyi butir-butir penting dari surat yang telah beredar luas di kalangan mahasiswa:
“Segala bentuk kejadian, insiden, atau risiko yang terjadi selama kegiatan berlangsung adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi peserta dan/atau wali, dan bukan merupakan tanggung jawab hukum dari Universitas Negeri Gorontalo maupun pihak pelaksana kegiatan.”
(Butir 2, Surat Pernyataan Orang Tua/Wali Mahasiswa)
“Saya dengan ini secara sadar, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun, membebaskan dan melepaskan Universitas Negeri Gorontalo […] dari segala bentuk tuntutan hukum, gugatan perdata atau pidana, serta permintaan ganti rugi…”
(Butir 3, Surat yang sama)
Bentrok dengan Aturan Nasional
Kebijakan yang tertuang dalam surat pernyataan tersebut bertolak belakang dengan Permendikbudristek Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Pasal 35 Ayat (3), yang dengan jelas menyebutkan:
“Perguruan tinggi wajib menjamin mutu pelaksanaan pembelajaran, termasuk yang dilakukan di luar kampus, serta memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan mahasiswa.”
Artinya, kegiatan seperti KKN yang menjadi bagian dari kurikulum wajib seharusnya dilaksanakan dengan jaminan perlindungan dari pihak universitas, baik secara hukum, fisik, maupun administratif. Surat tersebut justru menjadi bukti bahwa UNG berusaha melepaskan tanggung jawab atas nama kesadaran orang tua, yang justru mengandung unsur pemaksaan dalam konteks pendidikan tinggi.
Mahasiswa Merasa Dijadikan “Tumbal Administratif”
Banyak mahasiswa merasa kecewa dan tidak aman. Dalam kondisi tertekan, mereka tidak punya pilihan selain menandatangani surat tersebut agar tetap bisa mengikuti KKN dan menyelesaikan studinya. Surat ini dinilai sebagai legalisasi pelepasan tanggung jawab institusi secara sistematis.
“Kami diwajibkan ikut KKN, tapi kalau terjadi sesuatu, kami harus tanggung sendiri. Orang tua pun diminta tanda tangan surat yang secara tidak langsung mengatakan: kalau anakmu celaka, bukan salah kampus,” ungkap seorang mahasiswa yang enggan disebut namanya.
Beberapa mahasiswa juga mengkritik bahwa penandatanganan surat semacam ini justru melanggengkan ketimpangan posisi antara institusi dan mahasiswa, di mana kampus menggunakan otoritasnya untuk menutupi celah tanggung jawab dengan surat kuasa paksa.
Preseden Berbahaya bagi Dunia Pendidikan
Penggunaan dokumen semacam ini membuka preseden berbahaya. Jika mahasiswa terus-menerus diminta menandatangani pernyataan semacam itu untuk mengikuti kegiatan kampus, maka artinya perlindungan mahasiswa sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi hanya bersifat opsional bagi institusi—bukan kewajiban.
Dokumen ini juga mempertanyakan validitas moral universitas dalam membina dan menjaga keselamatan peserta didiknya. Kampus yang seharusnya menjadi pelindung, justru mengontrak keluar tanggung jawabnya, dan seolah siap cuci tangan ketika terjadi insiden di lapangan.
Desakan Revisi dan Tanggung Jawab Rektorat
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak Rektorat UNG. Namun, gelombang kritik dari mahasiswa terus bergulir. Mereka mendesak agar surat pernyataan tersebut ditinjau ulang, dan menuntut jaminan perlindungan nyata selama program KKN berlangsung, baik melalui asuransi, protokol keselamatan, maupun pendampingan hukum bila diperlukan.